BAB
1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Masyarakat
di Indonesia terkenal dengan kemajemukannya, hal ini ditandai dengan beragamnya
suku bangsa, ras/etnis. Oleh karena itu masyarakat di indonesia rentan akan
konflik. Selain hal tersebut fenomena konflik memang bersifat intern (melekat
dan menyerap) dalam kehidupan masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia
ini yang sama sekali tidak terlepas dari konflik. Contoh terkecil mengenai ada
tidaknya konflik dalam kehidupan kita sekarang ialah ketika kita masih duduk di
bangku sekolah baik SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi hampir bisa
dipastikan bahwa kita telah mengalami yang namanya konflik. Sama halnya negara
kita (Indonesia) sebelum merdeka hingga merdeka konflik dari dalam maupun luar
pun senantiasa mendampinginya.
Karena konflik yang senantiasa ada dalam kehidupan bermasyarakat dan konflik
tidak selamanya berdampak negatif maka hendaknya diperlukan suatu manajemen
konflik agar tidak menimbulkan disintegerasi sosial. Selain itu karena konflik
juga terdapat dalam suatu negara maka di perlukannya juga ketahanan nasional
agar negara tersebut tetap eksis dan damai, aman, serta kebal akan konflik.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana konsep dasar dari konflik dan ketahanan negara?
2.
Bagaimanakah pandangan beberapa ahli mengenai konflik?
3.
Apasajakah yang melatarbelakangi terjadinya konflik?
4.
Apa dampak yang di timbulkan dari adanya konflik?
5.
Bagaimanakah cara untuk mengatasi konflik?
6.
Mengapa manajemen konflik dan Ketahanan Nasional itu penting?
C.
TUJUAN MAKALAH
Setelah
mempelajari bab ini diharapkan pembaca dapat :
1. Memahami
konsep dasar konflik dan ketahanan nasional
2. Mengemukakan
beberapa pandangan mengenai konflik.
3. Memahami
hal-hal yang menyebabkan konflik
4. Memahami
dampak dari adanya konflik
5. Memahami
pentingnya manajemen konflik dan ketahanan nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KONSEP DASAR KONFLIK DAN KETAHANAN
NASIONAL
Konflik biasanya didefinisikan sebagai bentuk perbedaan atau pertentangan ide,
pendapat, paham, dan kepentingan diatara dua atau lebih. Pertentangan ini biasa
berbentuk fisik ataupun nonfisik. Selain itu konflik juga dapat didefinisikan
sebagai interaksi antara individu, kelompok, atau organisasi dan golongan yang
membuat tujuan atau arah yang berlawanan, dan merasa bahwa orang atau kelompok
lain dianggap sebagai pengganggu yang potensial terhadap pencapaian tujuan
mereka (M.S. Pook dalam Hakim, 2014). Senada dengan hal tersebut, Brown dan
Moberg (1980) mendefinisikkan konflik sebagai perselisihan diantara dua orang
atau lebih atau diantara kelompok-kelompok kerja yang disebabkan oleh
pertentangan tujuan, sumber, harapan, persepsi atau nilai-nilai. Para teoritis
mendefinisikan pertentangan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat
langsung yakni ditandai interaksi timbal balik diantara pihak-pihak yang
bertentangan. Disamping itu pertentangan juga dilakukan diatas kesabaran pada
masing-masing pihak yang diantara mereka saling berbeda atau berlawanan.(Hakim,
2014).
Menurt Marck, Sylnder, dan Gurr (1980) membuat kriteria yang menandai adanya
suatu konflik atau pertentangan pertama, sebuah konflik harus melibatkan
dua atau lebih pihak didalamnya; kedua, pihak-pihak tersebut tarik
menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing actions); ketiga, mereka
bisanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan
menghancurkan musuh; keempat, interaksi pertentangan diantara
pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan
peristiwa pertentangan tadi dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh
para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan.(Hakim, 2014).
Dalam
kehidupan bermasyarakat biasanya konflik dapat berupa konsep instrumental yang
mengarah pada pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur social serta
dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.
Misalnya, konflik yang terjadi antara kelompok dengan
kelompok,
kelompok yang menang dapat kembali memperkuat indentitasnya dan
melindungi kelompoknya agar tidak lebur kedalam dunia sekelilingnya.
Dalam
menghadapi berbagai konflik tersebut diatas diperlukan suatu cara yang dapat
meredam atau bahkan menyelesaikan konflik tersebut. Untuk itu manajemen konflik
dapat di jadikan salah satu alternatif dalam pemecahan konflik baik itu konflik
interen maupun eksteren. Demikian pula dengan ketahanan nasional yang subtansi
pokoknya mencangkup seluruh aspek kehidupan bangsa yang tergambar dalam bidang-bidang
seperti ideology, politik, ekonomi, social-budaya dan pertahanan keamanan
(poleksosbuthankam).
Oleh
karena itu dengan substansi ini, tujuan ketahanan nasional Indonesia adalah
menciptakan prakondisi kehidupan yang aman dan sejahtera bagi Bangsa dan
Negara. Kondisi diatas dapat digunakan sebagai prasyarat ketika bangsa
Indonesia akan melakukan pemikiran –pemikiran politik terbaik bagi kebijakan
nasional yang terjabar dalam politik dan strategi nasional. Jika ketahanan
nasional tidak mampu menciptakan kondisi yang aman, perumusan tadi tidak akan
bisa dilakukan dengan cermat dan penuh pertimbangan. Alhasil kebijakan nasional
tidak memiliki nilai fungsional, terutama dalam memberikan layanan serta
pemberdayaan masyarakat, rakyat, dan warga Negara. Itulah sebabnya,
penyelenggaraan ketahanan nasional harus mempertimbangkan secermat mungkin
tentang kemungkinan antisipasi dan munculnya konflik dikalangan masyarakat
bangsa Indonesia.
B.
BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KONFLIK
Menurut Cribbin (1985) dalam Hakim (2014), menyatakan bahwa konflik bagaikan
virus. Dia tidak bias dibasmi sama sekali, tetapi jika tidak dikendalikan, bisa
menjadi epidemic. Oleh karena itu, strategi yang etrbaik adalah manajemen yang
efektif.
Sujak
(1990) dalam Hakim (2014), memandang konflik menjadi dua yaitu cara lama dan
cara baru.
1. Memenurut cara
pandang lama, konflik harus dihilangkan karena dapat mengganggu organanisasi
dan merusak prestasi; sedagkkan dalam cara baru konflik sesungguhnya
meningkatkan prestasi organisasi dan karena itu harus dikelola dengan baik.
2.
Dalam cara pandang lama, organisasi atau kelompok atau komunitas yang baik
seharusnya tidak ada konflik; sedangkan dalam pandangan baru bahwa dalam
organisasim yang baik konflik yang memuncak dapat mendorong anggotanya untuk
memacu prestasi.
3. Dalam
padangan lama, konflik harus dibasmi atau diealakkan; sedangkan dalam padangan
baru konflik merupakan bagian integrasi dari kehidupan organisasi,
kelompok, dan komunitas tertentu.
4. Menurut pandangan lama, konflik
itu jelek karena dapat menjurus pada tingkat stress yang lebih tinggi,
memunculkan kejahatan, dan sabotase berbagai program kegiatan; sedangkan
pandangan baru mengatakan bahwa konflik itu baik karena dapat merangsang orang
untuk memecahkan persoalan dan menyebabkan timbulnya konflik.
Hampir
kebanyakan orang mempersepsikan bahwa konflik itu sebagai fenomena yang
membahayakan. Padahal, kondisi yang sebenarnya tidaklah demikian.
Menurut
Ralf Dahrendorf (1994) menegaskan bahawa masyarakat pada dasarnya terdiri dari
2 muka, muka kosensus dan muka konflik. Antara keduanya selalu melekat pada
kehidupan masyarakat karena konflik senantiasa ada dalam kehidupan masyarakat,
Dahrendorf memandang konflik sebagai fenomena social yang harus deperhatikan.
Selain itu menurutnya teori konflik berpusat pada “wewenang” dan “posisi” yang
keduanya merupakan faktor social yang dapat ditegaskan sebagai berikut: (1)
distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak merata dapat menimbulkan konflik
social.(2) kekuasaan dan wewenang selalu menempatkan individu dalam struktur
social pada posisi atas, atau sebaliknya berada pada posisi bawah. (3)
kekuasaan dan wewenang akan melahirkan penguasa dan kelompok penguasa dan
kelompok yang dikuasai yang rentan akan konflik.
Sementara
itu Lewis A. Coser memandang konflik sebagai sesuatu yang bersifat fungsional.
Konflik bisa bersifat jika memiliki nilai-nilai fungsional dalam hal:
1.
Sebagai alat untuk memelihara solidaritas
2.
Menjadi jembatan aliansi dengan kelompok lain
3.
Mengaktifkan individuyang semula terisolasi dengan kelompoknya
4.
Sebagai sarana komunikasi untuk mengetahui pihak lawan atau yang terlibat
konflik
Dalam
kaitan dengan fungsi Robeth K. Merton pernah membedakan menjadi dua yakni
fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest adalah fungsi yang
direncanakan, ditampakkan atau ditunjukkan secara tegas. Sedangkan fungsi laten
adalah fungsi yang tidak diperhitungkannya dalam proses pencapaian tujuan
kehidupan sosial. Terhadap dua fungsi tadi, Metton mewanti-wanti dalam beberapa
hal:
1.
Fungsi-sungsi yang dinyatakan secara manifest, sering mengalami disfungsi,
karena kurangnya perhatian terhadap fungsi laten yang berada di balik itu.
2.
Tajamnya perbedaan antara fungsi manifest dan fungsi laten, akan berpengaruh
terhadap keseimbangan kehidupan masyarakat.
3. Semakin jelas dalam
mendeteksi fungsi manives dan fungsi laten, maka semakin jelas dalam mendeteksi
tindakan manusia dalam masyarakat.
C.
PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK
1. Perbedaan
individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Misalnya, ketika
berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya berbeda-beda ada yang merasa terganggu dan ada pula yang merasa
terhibur.
2. Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda-beda.
Misalnya, dalam
pendirian sebuah organisasi antara anggota satu dengan yang lain memiliki
pandangan yang berbeda-beda seiring latar belakang kebudayaan yang mereka
miliki, Perbedaan itulah yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik.
3. Perbedaan
kepentingan antara individu / kelompok
Antara
individu/kelompok lain memiliki kepentingn yang berbeda-beda kadang-kadang
individu/kelompok dapat melakukan hal yang sama tetapi untuk tujuan
berbeda-beda.
4. Perubahan
nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah
sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung
cepat atau bahkan mendadak perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik.
Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan menimbulkan koflik sosial karena nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercocok tanam (bertani) secara cepat berubah menjadi
nilai-nilai masyarakat industri.
5. Agama
Beragamnya agama
yang terdapat di Negara Indonesia dapat menimbulkan konflik apa bila antara
pemeluk agama satu dengan yang lainnya tidak saling menghormati dan merasa
paling benar.
6. Kesukuan/ras
Perbedaan suku
atau ras kadang kala dapat menimbulkan konflik apabila terjadi perselisihan di
antara keduanya.
7. Uang/harta
Uang adalah alat
perlindungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, namun uang seringkali
menjadi alasan manusia untuk saling bertikai. Banyak keluarga yang bertikai
saat terjadi pembagian harga warisan. Adapula perampokan yang menyebabkan
korban jiwa dengan alas an membutuhkan uang.
8. Wilayah
Teritorial
Konflik antara
Indonesia dan Malaysia adalah contoh perebutan wilayah teritorial suatu negara.
9. Jabatan atau
Kekuasaan
Seringkali
terjadi pertumpahan berdarah dalam perebutan kekuasaan atau jabatan. Contohnya,
pada masa Ken Arok membunuh Tunggul Ametung. Hal itu menunjukkan betapa
kejamnya manusia untuk meraih puncak kekuasaan.
D.
DAMPAK TERJADINYA KONFLIK
Konflik
memiliki dampak positif dan negatif. Adapun dampak positif dari konflik adalah
:
1. Konflik
dapat memperjelas berbagai kehidupan yang belum tuntas.
2. Konflik
dapat menimbulkan penyesuaian kembali terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat.
3. Konflik
dapat meningkatkan solidaritas diantara anggota kelompok.
4. Konflik
dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau kelompok.
5. Konflik
dapat memicu kompromo baru.
Adapun
dampak negatif yang ditimbulkan oleh konflik adalah :
1. Konflik
dapat menimbulkan keretakan hubungan antara individu dengan kelompok.
2. Konflik
menyebabkan rusaknya berbbagai harta benda dan jatuhnya korban jiwa.
3. Konflik
menyebabkan adanya perubahan kepribadian.
4. Konflik
menyebabkan dominasi kelompok pemenang.
E.
MANAJEMEN KONFLIK
Hodge
dan Anthony memberikan gambaran melalui berbagai metode penyelesaian konflik.
Pertama,
setiap
orang menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredan atau
dipadamkan. Kedua, penyelesaian konflik denga menggunakan metode
penghalusan. Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik
dengan bahasa cinta untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang bersifat
perdamaian. Ketiga, penyelesaian konflik dengan cara demokratis, artinya
memberikan peluang kepada masing-masing pihak uuntuk mengemukakakan pendapat
dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehigga dapat diterima oleh
kedua pihak.
Strategi
penyelesaian konflik hendaknya perlu dipertimbangkan dengan matang. Cribbin
(1985) mengelaborasi terhadap tiga hal yaitu mulai yang paling tidak efektif,
yang efektif dan palig efektif. Strategi yang dipandangnya yang paling tidak
efektif meliputi : (1) paksaan, dengan paksaan mungki konflik bisa diselesaikan
dengan cepat, namun dapat menimbulkan reaksi negative. (2) penundaan, yang
mengakibatkan penyelesaiaan konflik menjadi berlarut-larut. (3) bujukan, bisa
berakibat secara psikologis, dimana orangg akan kebal dengan bujukann sehingga
perselisihan akan semakin tajam. (4) Koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan
untuk mengendalikan konflik. Stategi ini memaksakan orang uuntuk memihak, yang
pada gilirannya bisa menambah kadar konflik menjadi sebuah perang. (5)
tawar-menawar distribusi, masing-masing pihak saling melepaskan beberapa hal
penting yang menjadi haknya.
Strategi
yang dipandang efektif meliputi: (1) koeksistensi damai, yaitu penegndalian
konflik dengan tidak mengganggu dan saling merugikan. (2) mediasi atau
pengantaraan, yaitu menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan
secara jujur dan adil serta tidak memihak.
Strategi
yang dipandang paling efektif antara lain meliputi : (1) tujuan sekutu besar,
yaitu melibatkan pihak-pihak yang berkonflik kearah tujuan yang lebih
besar dan kompleks. (2) tawar-mmenawar integrative, yaitu menggiring pihak-
pihak yang berkonflik untuk berkonsentrasi pada kepentingan yang luas bukan
kepentingan yang sempit.
Nasikun
mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga cara yaitu konsiliasi,
mediasi, dan perwasitan atau arbitrasi. Pengendalian konflik dengan cara
konsiliasi terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang diharapkan berfungsi
secara efektif memenuhi empat hal : (1) harus merupakan lembaga yang bersifat
otoom dengan wewenang untuk mengambil keputusan. (2) lembaga harus bersifat
monopolistis. (3) lembaga harus mengikat kepentingan pihak-pihak yang
berkonflik. (4) lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
Selain
cara diatas, terdapat tiga macam pengendalian konflik diantaranya :
a. Konsiliasi
Merupakan
bentuk pengendalian konflik yang utama. Pengendalian ini terwujud melalui
lembaga tertentu yang memungkinkan timbulnya pola diskusi dan pengambilan
keputusan. Pada umumnya, bentuk konsiliasi terjadi pada masyarakat politik. Terdapat
empat hal yang harus dipenuhi dalam konsiliasi diantaranya:
1.
Lembaga harus bersifat otonom
2.
Kebudayaan lembaga harus bersifat
monopolitis
3.
Peran lembaga harus mengikat kepentingan
semua kelompok
4.
Peran lembaga harus bersifat demokratis
b. Mediasi
Merupakan
pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara membuat consensus di antara dua
pihak yang berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral
sebagai mediator dalam penyaelesaian konflik. Pengendalian ini sangat efektif
dan mampu menjadi pengendalian konklik yang selalu digunakan oleh masyarakat.
Misalnya, pada konflik sara di Poso dimana pemerintah menjadi mediator dalam
penyelesaian konflik tersebut.
c. Arbitrasi
Merupakan
pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang
bertentangan sepakat untuk menerima atau terpaksa hadirnya pihak ketiga yang
memberikan keputusan untuk menyelesaikan konflik.
Ketiga jenis
pengendalian konflik diatas memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau
menghindari kemungkinan terjadinya konflik berkelanjutan dalam suatu
masyarakat.
F. MENGELOLA
KONFLIK DALAM KERANGKA KETAHANAN NASIONAL
Kemungkinan konflik
yang timbul di dalam masyarakat Indonesia hendaknya dikembalikan dalam
menangkal ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) dan untuk
mempertahankan identitas, integritas dan kelangsungan bangsa Indonesia dalam mencapai
cita-cita nasionalnya. Penyelesaian konflik di Indonesia harus memperhatikan
faktor-faktor kesejahteraan dan keamanan seluruh bangsa Indonesia. Jika
memperhatikan salah satu faktor saja, dipandang belum cukup (menjamin) untuk
membangun kondisi dinamis bangsa Indonesia memiliki keuletan, ketangguhan dan
kemampuan untuk mengatasi ATHG. Jika ATHG tidak diantisipasi dengan cermat,
maka akan bisa menjadi sumber pemicu munculnya konflik baik vertikal maupun
horisontal.
Ketahanan nasional
Indonesia, berkomitmen untuk menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan
kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security
approach). Aplikasi dua pendekatan itu harus dilakukan dengan melakukan
observasi keadaan lokasi suatu tempat, komunitas, dari daerah-daerah yang
dipandang rawan terhadap konflik. Dari hasil observasi itu, akan ditemukan
aspek mana yang dipandang menjadi prioritas dan pelaksanaan ketahanan nasional
(aspek kesejahteraan atau aspek keamanan). Jika temuan kerawanan jatuh pada
aspek kesejahteraan misalnya maka aspek ini yang perlu digarap lebih dahulu,
termasuk upaya pengendalian konflik yang muncul dari kesejahteraan bagi rakyat.
Hasil dari pelaksanaan ketahanan nasional yang menggunakan pendekatan
kesejahteraan, akan digunakan dalam memikirkan penanganan persoalan-persoalan
yang dirasakan muncul dalam aspek keamanan. Jadi, kesejahteraan digunakan dalam
mendukung keamanan.
Kondisi di
lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia ditandai oleh cirinya yang
bersifat ‘unik’. Secara horisontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya
kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku-bangsa, agama, ras/etnis dan
antar golongan yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan secara vertikal,
struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan
secara horisontal yang tercermin dalam bentuk Sara (suku, agama, ras/etnis, dan
antargolongan), memang pada kondisi awal memiliki kerawanan akan terjadinya
konflik. Memang tidak bisa disangkal, bahwa sumber konflik yang paling mendasar
bermula dari adanya perbedaan-perbedaan. Namun demikian, di balik perbedaan itu
bangsa Indonesia justru lebih banyak memetik hikmah yang positif, terutama
kebermaknaannya bagi energi kemajemukan dan demokrasi yang diterapkan di
Indonesia. Hal itu menuntut pengelolaan perbedaan dengan baik agar potensi
konflik yang ada tidak berkembang menjadi realitas konflik yang ada tidak
berkembang menjadi realitas konflik yang berkepanjangan.
Harapan ini akan dapat difasilitasi
dengan memanfaatkan sifat-sifat Ketahanan nasional Indonesia yang dapat
dikemukakan berikut ini:
Pertama, sifat
manunggal (integratif). Yang dimaksud adalah kemanunggalan antara potensi
TRIGATRA (aspek alamiah: posisi/letak geografis, kekayaan alam, dan jumlah
penduduk) dengan potensi PANCAGATRA (aspek sosial: ideologi, politik, ekonomi,
sosialbudaya, dan pertahanan keamanan. Sifat integratif ini tidak dapat
diartikan sebagai pencampuadukan seluruh aspek kehidupan (bukan unfikasi), akan
tetapi integrasi yang dilaksankan secara serasi dan selaras dengan tetap
mengaku perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Kedua, sifat
mawas ke dalam. Ketahanan nasional Indonesia terutama diarahkan kepada diri
bangsa dan negara itu sendiri. Sebab Tannas Indonesia bertujuan untuk
mewujudkan hakikat dan sifat nasionalnya. Hal itu tidak berarti bahwa Tannas
Indonesia menganut sikap isolatif apalagi nasionalisme sempit. Sifat ‘ mawas ke
dalam’ tetap memelihara hubungan internasional yang sebaik-baiknya dengan
landasan manusiawi dan atas dasar peradaban kemanusiaan. Namun demikian,
sebagai realisasi ke dalam, Tannas Indonesia diharapkan mampu membawa bangsa
Indonesia semakin ‘kokoh’ akan rasa nasionalismenya, agar tidak mudah
digoyahkan oleh kasus-kasus yang bernuansa konflik horisontal yang diakibatkan
oleh perbedaan Sara.
Ketiga, sifat
kewibawaan. Ketahanan nasional Indonesia sebagai hasil pandangan yang bersifat
‘manunggal’ tadi, mewujudkan kewibawaan nasional yang harus diperhitungkan oleh
pihak lain sekaligus memiliki daya pencegah terhadap ATHG dan konflik bangsa
Indonesia. Semakin tinggi tingkat kewibawaan, semakin besar tingkat pencegah
tersebut. Itulah sebabnya, semakin bangsa Indonesia mampu mengelola konflik
yang terjadi di kalangan masyarakat yang ada di nusantara ini, semakin bangsa
Indonesia tercerai-berai (terancam disintegrasi) akibat konflik horisontal dan
vertikal yang berkepanjangan, semakin menunjukkan pada pihak bangsa lain bahwa
kita adalah bangsa yang tidak memiliki kewibawaan.
Keempat, sifat
berubah menurut waktu. Ketahanan nasional Indonesia, tidaklah tetap adanya. Ia
dapat meningkat atau menurun dan bergantung kepada situasi dan kondisi bangsa
Indonesia. Hal itu sesuai dengan pengertian bahwa segala sesuatu di dunia ini
senantiasa berubah dan bahkan perubahan itu sendiri adalah berubah.
Kelima, sifat
tidak membenarkan adu kekuasaan dan kekuatan. Konsepsi ketahanan nasional
Indonesia dapat dipandang sebagai suatu alternatif dari konsepsi yang
mengutamakan penggunaan adu kekuasaan dan adu kekuatan (power politics)
yang masih dianut oleh negara-negara maju pada umumya sehingga bertumpu pada konsep
kekuatan fisik maka sebaliknya ketahanan nasional Indonesia lebih menekankan
pada kekuatan moral (moral force) yang ada pada bangsa Indonesia. Di
samping itu, ketahanan nasional Indonesia, lebih mementingkan konsultasi dan
saling menghargai pergaulan hidup manusia serta menjauhi antagonisme dan
konfrontasi.
Semua
sifat-sifat ketahanan nasional Indonesia sebagaimana diuraikan di atas,
senantiasa diarahkan dalam menjaga identitas, integritas, dan kelangsungan
hidup bangsa Indonesia dalam mengejar cita-cita nasionalnya. Itulah sebabnya,
penggunaan pendekatan keamanan (security approach) dalam Tannas
Indonesia, boleh jadi mengindikatorkan bahwa dia tidak menyukai adanya adu
kekuatan. Jadi, pendekatan keamanan tidak harus diartikan sebagai penggunaan
kekuatan untuk menyelesaikan konflik. Sebagai konsepsi bangsa, Tannas Indonesia
bukan pemikiran yang bersifat ‘otoriter’, akan tetapi lebih menekankan pada
pertimbangan demokratis yang selalu mengandalkan kekuatan moral sebagai potensi
bangsa yang luhur.
Dewasa ini,
penggunaan pendekatan keamanan (security approach) dalam memecahkan
persoalan bangsa telah banyak yang mengkritisi. Umumnya, mereka cenderung
menolak pendekatan ini. Persepsi yang muncul lebih banyak mempersoalkan, bahwa
dengan pendekatan keamanan pasti akan direalisasi dengan sarana kekuatan fisik.
Pemikiran itu, pada dasarnya tidak benar sama sekali. Aspek keamanan bukanlah
semata-mata muncul dari konsepsi militerisme. Sebuah konsepsi bahwa untuk
menciptakan keamanan harus dilakukan, misalnya dengan cara perang, paksaan,
dominasi, dan bahkan pembunuhan. Konsepsi keamanan lebih erat hubungannya
dengan kebutuhan dasar manusia. Karena itu, aktivitas keamanan lebih banyak
bersandar pada panggilan jiwa dan upaya pemenuhan atau layanan kebutuhan akan
rasa aman. Dalam konsepsi Tannas Indonesia, masyarakat tidak boleh ‘resah’,
gara-gara merasa tidak aman dalam kehidupannya. Masyarakat juga tidak boleh
chaos, lantaran keadaan yang diwarnai oleh konflik.
Dengan
demikian, manajemen konflik dalam kerangka ketahanan nasional Indonesia harus
ditangkap sebagai upaya saling memanfaatkan potensi yang melekat pada
pihak-pihak yang berkonflik. Kiranya, ‘gaya kolaborasi’ dipandang lebih sesuai
dengan keperluan ini. Dalam kaitan itu, manajemen dan penyelesaian konflik dalam
kerangka Tannas Indonesia, harus dimaknai secara kritis dengan mengambil
keunggulan masing-masing dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Hal ini
menunjukkan, bahwa untuk menyelesaikan konflik dalam kerangka Tannas Indonesia,
bukan menggunakan parameter ‘benar salah’, akan tetapi senantiasa lebih banyak
dipetakan lewat pemahaman setting kultural, terutama kecanggihan dalam
menangkap simbol-simbol budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Indonesia.
Dengan cara
itu, latar belakang konflik dapat diidentifikasi dengan objektif dan
dimungkinkan adanya distribusi informasi secara terbuka. Konflik yang terjadi,
dinyatakan secara terbuka dan dievaluasi dari berbagai sudut pandang budaya
masing-masing pihak yang sedang berkonflik. Penyelesaian konflik yang hanya
menggunakan pendekatan budaya sepihak, cenderung terperangkap pada pola pikir
yang etnosentris, dan ini menjadikan pemecahan persoalan konflik yang mengarah
pada ketidakadilan. Karena budaya itu bersifat subjektif, tidak dibenarkan
penyelesaian konflik hanya dilihat dari satu sisi budaya, karena hal ini justru
akan membuka ruang konflik baru. Dengan demikian, pendekatan ‘multikultural’
dirasakan lebih efektif dan lebih demokratis jika digunakan dalam memecahkan
konflik horisontal dalam masyarakat yang hidup di seluruh nusantara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik
biasanya didefinisikan sebagai bentuk perbedaan atau pertentangan ide,
pendapat, paham, dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Selain itu,
konflik juga dapat diartikan sebagai interaksi antara individu, kelompok atau
organisasi dan golongan yang membuat tujuan atau arti yang berlawan, dan merasa
bahwa orang atau kelompok lain dianggap sebagai pengganggu yang potensial.
Sedangkan ketahanan nasional sering diartikan sebagai kondisi dinamik yang
berisi tentang ‘keuletan’ dan ‘ketangguhan’ suatu bangsa dalam mengembangkan
kemampuan untuk mengatasi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG),
baik yang timbul dari dalam maupun dari luar, baik yang langsung maupun tidak
langsung, yang membahayakan terhadap identitas, integritas dan kelangsungan
hidup bangsa dalam mengejar cita-cita nasionalnya. Fenomena konflik pada
dasarnya bersifat ‘laten’ dalam kehidupan masyarakat, bagaikan virus dan tidak
bisa dibasmi sama sekali, namun jika tidak dikendalikan bisa menjadi epidemi.
Oleh karena itu, konflik harus diartikan sebagai hal yang positif dan
fungsional, yang harus dimanajemen dalam mencapai tujuan diri, sosial, bangsa
dan negara. Dalam rangka ketahanan nasional Indonesia, manajemen konflik
diharapkan mampu melahirkan ‘resultante’ keuletan, ketangguhan, dan daya tahan
bangsa Indonesia sehingga memberikan kontribusi bagi upaya mempertahankan
identitas, integritas, dan kelangsungan hidup dalam mencapai cita-cita
nasionalnya.
B.
SARAN
a. Penulis
berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai konflik
dan cara mengatasinya.
b. Penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
penulisan ini di masa akan datang.
DAFTAR
RUJUKAN
Hakim,
S. A. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam Konteks Indonesia. Malang: Madani.
Kurochan,
R. 2013. Manajemen Konflik dan Ketahanan Nasional, (Online), (https://raedyth-gallery.wordpress.com/2013/03/18/makalah-manajeman-konflik-dan/ketahanan/nasional/), diakses tanggal 10 Februari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar