Minggu, 10 Mei 2015

MANAJEMEN KONFLIK DAN KETAHANAN NASIONAL

BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masyarakat di Indonesia terkenal dengan kemajemukannya, hal ini ditandai dengan beragamnya suku bangsa, ras/etnis. Oleh karena itu masyarakat di indonesia rentan akan konflik. Selain hal tersebut fenomena konflik memang bersifat intern (melekat dan menyerap) dalam kehidupan masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia ini yang sama sekali tidak terlepas dari konflik. Contoh terkecil mengenai ada tidaknya konflik dalam kehidupan kita sekarang ialah ketika kita masih duduk di bangku sekolah baik SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi hampir bisa dipastikan bahwa kita telah mengalami yang namanya konflik. Sama halnya negara kita (Indonesia) sebelum merdeka hingga merdeka konflik dari dalam maupun luar pun senantiasa mendampinginya.
      Karena konflik yang senantiasa ada dalam kehidupan bermasyarakat dan konflik tidak selamanya berdampak negatif maka hendaknya diperlukan suatu manajemen konflik agar tidak menimbulkan disintegerasi sosial. Selain itu karena konflik juga terdapat dalam suatu negara maka di perlukannya juga ketahanan nasional agar negara tersebut tetap eksis dan damai, aman, serta kebal akan konflik.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep dasar dari konflik dan ketahanan negara?
2. Bagaimanakah pandangan beberapa ahli mengenai konflik?
3. Apasajakah yang melatarbelakangi terjadinya konflik?
4. Apa dampak yang di timbulkan dari adanya konflik?
5. Bagaimanakah cara untuk mengatasi konflik?
6. Mengapa manajemen konflik dan Ketahanan Nasional itu penting?

C. TUJUAN MAKALAH
Setelah mempelajari bab ini diharapkan pembaca dapat :
1. Memahami konsep dasar konflik dan ketahanan nasional


2. Mengemukakan beberapa pandangan mengenai konflik.
3. Memahami hal-hal yang menyebabkan konflik
4. Memahami dampak dari adanya konflik
5. Memahami pentingnya manajemen konflik dan ketahanan nasional.






BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR KONFLIK DAN KETAHANAN NASIONAL
     Konflik biasanya didefinisikan sebagai bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, paham, dan kepentingan diatara dua atau lebih. Pertentangan ini biasa berbentuk fisik ataupun nonfisik. Selain itu konflik juga dapat didefinisikan sebagai interaksi antara individu, kelompok, atau organisasi dan golongan yang membuat tujuan atau arah yang berlawanan, dan merasa bahwa orang atau kelompok lain dianggap sebagai pengganggu yang potensial terhadap pencapaian tujuan mereka (M.S. Pook dalam Hakim, 2014). Senada dengan hal tersebut, Brown dan Moberg (1980) mendefinisikkan konflik sebagai perselisihan diantara dua orang atau lebih atau diantara kelompok-kelompok kerja yang disebabkan oleh pertentangan tujuan, sumber, harapan, persepsi atau nilai-nilai. Para teoritis mendefinisikan pertentangan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung yakni ditandai interaksi timbal balik diantara pihak-pihak yang bertentangan. Disamping itu pertentangan juga dilakukan diatas kesabaran pada masing-masing pihak yang diantara mereka saling berbeda atau berlawanan.(Hakim, 2014).
     Menurt Marck, Sylnder, dan Gurr (1980) membuat kriteria yang menandai adanya suatu konflik atau pertentangan pertama, sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak didalamnya; kedua, pihak-pihak tersebut tarik menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing actions); ketiga, mereka bisanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan musuh; keempat, interaksi pertentangan diantara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan tadi dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan.(Hakim, 2014).
Dalam kehidupan bermasyarakat biasanya konflik dapat berupa konsep instrumental yang mengarah pada pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur social serta dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Misalnya, konflik yang terjadi antara kelompok dengan


kelompok, kelompok yang menang dapat kembali memperkuat indentitasnya dan melindungi  kelompoknya agar tidak lebur kedalam dunia sekelilingnya.
Dalam menghadapi berbagai konflik tersebut diatas diperlukan suatu cara yang dapat meredam atau bahkan menyelesaikan konflik tersebut. Untuk itu manajemen konflik dapat di jadikan salah satu alternatif dalam pemecahan konflik baik itu konflik interen maupun eksteren. Demikian pula dengan ketahanan nasional yang subtansi pokoknya mencangkup seluruh aspek kehidupan bangsa yang tergambar dalam bidang-bidang seperti ideology, politik, ekonomi, social-budaya dan pertahanan keamanan (poleksosbuthankam).
Oleh karena itu dengan substansi ini, tujuan ketahanan nasional Indonesia adalah menciptakan prakondisi kehidupan yang aman dan sejahtera bagi Bangsa dan Negara. Kondisi diatas dapat digunakan sebagai prasyarat ketika bangsa Indonesia akan melakukan pemikiran –pemikiran politik terbaik bagi kebijakan nasional yang terjabar dalam politik dan strategi nasional. Jika ketahanan nasional tidak mampu menciptakan kondisi yang aman, perumusan tadi tidak akan bisa dilakukan dengan cermat dan penuh pertimbangan. Alhasil kebijakan nasional tidak memiliki nilai fungsional, terutama dalam memberikan layanan serta pemberdayaan masyarakat, rakyat, dan warga Negara. Itulah sebabnya, penyelenggaraan ketahanan nasional harus mempertimbangkan secermat mungkin tentang kemungkinan antisipasi dan munculnya konflik dikalangan masyarakat bangsa Indonesia.

B. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KONFLIK
     Menurut Cribbin (1985) dalam Hakim (2014), menyatakan bahwa konflik bagaikan virus. Dia tidak bias dibasmi sama sekali, tetapi jika tidak dikendalikan, bisa menjadi epidemic. Oleh karena itu, strategi yang etrbaik adalah manajemen yang efektif.
Sujak (1990) dalam Hakim (2014), memandang konflik menjadi dua yaitu cara lama dan cara baru.
1. Memenurut cara pandang lama, konflik harus dihilangkan karena dapat mengganggu organanisasi dan merusak prestasi; sedagkkan dalam cara baru konflik sesungguhnya meningkatkan prestasi organisasi dan karena itu harus dikelola dengan baik.
2. Dalam cara pandang lama, organisasi atau kelompok atau komunitas yang baik seharusnya tidak ada konflik; sedangkan dalam pandangan baru bahwa dalam organisasim yang baik konflik yang memuncak dapat mendorong anggotanya untuk memacu prestasi.
3. Dalam padangan lama, konflik harus dibasmi atau diealakkan; sedangkan dalam padangan baru konflik merupakan bagian integrasi dari kehidupan organisasi, kelompok, dan komunitas tertentu.
4. Menurut pandangan lama, konflik itu jelek karena dapat menjurus pada  tingkat stress yang lebih tinggi, memunculkan kejahatan, dan sabotase berbagai program kegiatan; sedangkan pandangan baru mengatakan bahwa konflik itu baik karena dapat merangsang orang untuk memecahkan persoalan dan menyebabkan timbulnya konflik.
Hampir kebanyakan orang mempersepsikan bahwa konflik itu sebagai fenomena yang membahayakan. Padahal, kondisi yang sebenarnya tidaklah demikian.
Menurut Ralf Dahrendorf (1994) menegaskan bahawa masyarakat pada dasarnya terdiri dari 2 muka, muka kosensus dan muka konflik. Antara keduanya selalu melekat pada kehidupan masyarakat karena konflik senantiasa ada dalam kehidupan masyarakat, Dahrendorf memandang konflik sebagai fenomena social yang harus deperhatikan. Selain itu menurutnya teori konflik berpusat pada “wewenang” dan “posisi” yang keduanya merupakan faktor social yang dapat ditegaskan sebagai berikut: (1) distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak merata dapat menimbulkan konflik social.(2) kekuasaan dan wewenang selalu menempatkan individu dalam struktur social pada posisi atas, atau sebaliknya berada pada posisi bawah. (3) kekuasaan dan wewenang akan melahirkan penguasa dan kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai yang rentan akan konflik.
Sementara itu Lewis A. Coser memandang konflik sebagai sesuatu yang bersifat fungsional. Konflik bisa bersifat jika memiliki nilai-nilai fungsional dalam hal:
1. Sebagai alat untuk memelihara solidaritas
2. Menjadi jembatan aliansi dengan kelompok lain
3. Mengaktifkan individuyang semula terisolasi dengan kelompoknya
4. Sebagai sarana komunikasi untuk mengetahui pihak lawan atau yang terlibat konflik
Dalam kaitan dengan fungsi Robeth K. Merton pernah membedakan menjadi dua yakni fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest adalah fungsi yang direncanakan, ditampakkan atau ditunjukkan secara tegas. Sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak diperhitungkannya dalam proses pencapaian tujuan kehidupan sosial. Terhadap dua fungsi tadi, Metton mewanti-wanti dalam beberapa hal:
1. Fungsi-sungsi yang dinyatakan secara manifest, sering mengalami disfungsi, karena kurangnya perhatian terhadap fungsi laten yang berada di balik itu.
2. Tajamnya perbedaan antara fungsi manifest dan fungsi laten, akan berpengaruh terhadap keseimbangan kehidupan masyarakat.
3. Semakin jelas dalam mendeteksi fungsi manives dan fungsi laten, maka semakin jelas dalam mendeteksi tindakan manusia dalam masyarakat.

C. PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK
1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya berbeda-beda ada yang merasa terganggu dan ada pula yang merasa terhibur.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda-beda.
Misalnya, dalam pendirian sebuah organisasi antara anggota satu dengan yang lain memiliki pandangan yang berbeda-beda seiring latar belakang kebudayaan yang mereka miliki, Perbedaan itulah yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik.
3. Perbedaan kepentingan antara individu / kelompok
Antara individu/kelompok lain memiliki kepentingn yang berbeda-beda kadang-kadang individu/kelompok dapat melakukan hal yang sama tetapi untuk tujuan berbeda-beda.
4. Perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan menimbulkan koflik sosial karena nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercocok tanam (bertani) secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
5. Agama
Beragamnya agama yang terdapat di Negara Indonesia dapat menimbulkan konflik apa bila antara pemeluk agama satu dengan yang lainnya tidak saling menghormati dan merasa paling benar.
6. Kesukuan/ras
Perbedaan suku atau ras kadang kala dapat menimbulkan konflik apabila terjadi perselisihan di antara keduanya.
7. Uang/harta
Uang adalah alat perlindungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, namun uang seringkali menjadi alasan manusia untuk saling bertikai. Banyak keluarga yang bertikai saat terjadi pembagian harga warisan. Adapula perampokan yang menyebabkan korban jiwa dengan alas an membutuhkan uang.
8. Wilayah Teritorial
Konflik antara Indonesia dan Malaysia adalah contoh perebutan wilayah teritorial suatu negara.
9. Jabatan atau Kekuasaan
Seringkali terjadi pertumpahan berdarah dalam perebutan kekuasaan atau jabatan. Contohnya, pada masa Ken Arok membunuh Tunggul Ametung. Hal itu menunjukkan betapa kejamnya manusia untuk meraih puncak kekuasaan.  

D. DAMPAK TERJADINYA KONFLIK
Konflik memiliki dampak positif dan negatif. Adapun dampak positif dari konflik adalah :
1.    Konflik dapat memperjelas berbagai kehidupan yang belum tuntas.
2.    Konflik dapat menimbulkan penyesuaian kembali terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
3.    Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara anggota kelompok.
4.    Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau kelompok.
5.    Konflik dapat memicu kompromo baru.

Adapun dampak negatif yang ditimbulkan oleh konflik adalah :
1.    Konflik dapat menimbulkan keretakan hubungan antara individu dengan kelompok.
2.    Konflik menyebabkan rusaknya berbbagai  harta benda dan jatuhnya korban jiwa.
3.    Konflik menyebabkan adanya perubahan kepribadian.
4.    Konflik menyebabkan dominasi kelompok pemenang.

E. MANAJEMEN KONFLIK
Hodge dan Anthony memberikan gambaran melalui berbagai metode penyelesaian konflik.
Pertama, setiap orang menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredan atau dipadamkan. Kedua, penyelesaian konflik denga menggunakan metode penghalusan. Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan bahasa cinta untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang bersifat perdamaian. Ketiga, penyelesaian konflik dengan cara demokratis, artinya memberikan peluang kepada masing-masing pihak uuntuk mengemukakakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehigga dapat diterima oleh kedua pihak.
Strategi penyelesaian konflik hendaknya perlu dipertimbangkan dengan matang. Cribbin (1985) mengelaborasi terhadap tiga hal yaitu mulai yang paling tidak efektif, yang efektif dan palig efektif. Strategi yang dipandangnya yang paling tidak efektif meliputi : (1) paksaan, dengan paksaan mungki konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun dapat menimbulkan reaksi negative. (2) penundaan, yang mengakibatkan penyelesaiaan konflik menjadi berlarut-larut. (3) bujukan, bisa berakibat secara psikologis, dimana orangg akan kebal dengan bujukann sehingga perselisihan akan semakin tajam. (4) Koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk mengendalikan konflik. Stategi ini memaksakan orang uuntuk memihak, yang pada gilirannya bisa menambah kadar konflik menjadi sebuah perang. (5) tawar-menawar distribusi, masing-masing pihak saling melepaskan beberapa hal penting yang menjadi haknya.
Strategi yang dipandang efektif meliputi: (1) koeksistensi damai, yaitu penegndalian konflik dengan tidak mengganggu dan saling merugikan. (2) mediasi atau pengantaraan, yaitu menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur  dan adil serta tidak memihak.
Strategi yang dipandang paling efektif antara lain meliputi : (1) tujuan sekutu besar, yaitu  melibatkan pihak-pihak yang berkonflik kearah tujuan yang lebih besar dan kompleks. (2) tawar-mmenawar integrative, yaitu menggiring pihak- pihak yang berkonflik untuk berkonsentrasi pada kepentingan yang luas bukan kepentingan yang sempit.
Nasikun mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga cara yaitu konsiliasi, mediasi, dan perwasitan atau arbitrasi. Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang diharapkan berfungsi secara efektif memenuhi empat hal : (1) harus merupakan lembaga yang bersifat otoom dengan wewenang untuk mengambil keputusan. (2) lembaga harus bersifat monopolistis. (3) lembaga harus mengikat kepentingan pihak-pihak yang berkonflik. (4) lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
Selain cara diatas, terdapat tiga macam pengendalian konflik diantaranya :
a. Konsiliasi
Merupakan bentuk pengendalian konflik yang utama. Pengendalian ini terwujud melalui lembaga tertentu yang memungkinkan timbulnya pola diskusi dan pengambilan keputusan. Pada umumnya, bentuk konsiliasi terjadi pada masyarakat politik. Terdapat empat hal yang harus dipenuhi dalam konsiliasi diantaranya:
1.      Lembaga harus bersifat otonom
2.      Kebudayaan lembaga harus bersifat monopolitis
3.      Peran lembaga harus mengikat kepentingan semua kelompok
4.      Peran lembaga harus bersifat demokratis
b. Mediasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara membuat consensus di antara dua pihak yang berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam penyaelesaian konflik. Pengendalian ini sangat efektif dan mampu menjadi pengendalian konklik yang selalu digunakan oleh masyarakat. Misalnya, pada konflik sara di Poso dimana pemerintah menjadi mediator dalam penyelesaian konflik tersebut.
c. Arbitrasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang bertentangan sepakat untuk menerima atau terpaksa hadirnya pihak ketiga yang memberikan keputusan untuk menyelesaikan konflik.
Ketiga jenis pengendalian konflik diatas memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindari kemungkinan terjadinya konflik berkelanjutan dalam suatu masyarakat.

F. MENGELOLA KONFLIK DALAM KERANGKA KETAHANAN NASIONAL
Kemungkinan konflik yang timbul di dalam masyarakat Indonesia hendaknya dikembalikan dalam menangkal ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) dan untuk mempertahankan identitas, integritas dan kelangsungan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita nasionalnya. Penyelesaian konflik di Indonesia harus memperhatikan faktor-faktor kesejahteraan dan keamanan seluruh bangsa Indonesia. Jika memperhatikan salah satu faktor saja, dipandang belum cukup (menjamin) untuk membangun kondisi dinamis bangsa Indonesia memiliki keuletan, ketangguhan dan kemampuan untuk mengatasi ATHG. Jika ATHG tidak diantisipasi dengan cermat, maka akan bisa menjadi sumber pemicu munculnya konflik baik vertikal maupun horisontal.
Ketahanan nasional Indonesia, berkomitmen untuk menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach). Aplikasi dua pendekatan itu harus dilakukan dengan melakukan observasi keadaan lokasi suatu tempat, komunitas, dari daerah-daerah yang dipandang rawan terhadap konflik. Dari hasil observasi itu, akan ditemukan aspek mana yang dipandang menjadi prioritas dan pelaksanaan ketahanan nasional (aspek kesejahteraan atau aspek keamanan). Jika temuan kerawanan jatuh pada aspek kesejahteraan misalnya maka aspek ini yang perlu digarap lebih dahulu, termasuk upaya pengendalian konflik yang muncul dari kesejahteraan bagi rakyat. Hasil dari pelaksanaan ketahanan nasional yang menggunakan pendekatan kesejahteraan, akan digunakan dalam memikirkan penanganan persoalan-persoalan yang dirasakan muncul dalam aspek keamanan. Jadi, kesejahteraan digunakan dalam mendukung keamanan.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia ditandai oleh cirinya yang bersifat ‘unik’. Secara horisontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku-bangsa, agama, ras/etnis dan antar golongan yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan secara horisontal yang tercermin dalam bentuk Sara (suku, agama, ras/etnis, dan antargolongan), memang pada kondisi awal memiliki kerawanan akan terjadinya konflik. Memang tidak bisa disangkal, bahwa sumber konflik yang paling mendasar bermula dari adanya perbedaan-perbedaan. Namun demikian, di balik perbedaan itu bangsa Indonesia justru lebih banyak memetik hikmah yang positif, terutama kebermaknaannya bagi energi kemajemukan dan demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Hal itu menuntut pengelolaan perbedaan dengan baik agar potensi konflik yang ada tidak berkembang menjadi realitas konflik yang ada tidak berkembang menjadi realitas konflik yang berkepanjangan.
Harapan ini akan dapat difasilitasi dengan memanfaatkan sifat-sifat Ketahanan nasional Indonesia yang dapat dikemukakan berikut ini:
Pertama, sifat manunggal (integratif). Yang dimaksud adalah kemanunggalan antara potensi TRIGATRA (aspek alamiah: posisi/letak geografis, kekayaan alam, dan jumlah penduduk) dengan potensi PANCAGATRA (aspek sosial: ideologi, politik, ekonomi, sosialbudaya, dan pertahanan keamanan. Sifat integratif ini tidak dapat diartikan sebagai pencampuadukan seluruh aspek kehidupan (bukan unfikasi), akan tetapi integrasi yang dilaksankan secara serasi dan selaras dengan tetap mengaku perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Kedua, sifat mawas ke dalam. Ketahanan nasional Indonesia terutama diarahkan kepada diri bangsa dan negara itu sendiri. Sebab Tannas Indonesia bertujuan untuk mewujudkan hakikat dan sifat nasionalnya. Hal itu tidak berarti bahwa Tannas Indonesia menganut sikap isolatif apalagi nasionalisme sempit. Sifat ‘ mawas ke dalam’ tetap memelihara hubungan internasional yang sebaik-baiknya dengan landasan manusiawi dan atas dasar peradaban kemanusiaan. Namun demikian, sebagai realisasi ke dalam, Tannas Indonesia diharapkan mampu membawa bangsa Indonesia semakin ‘kokoh’ akan rasa nasionalismenya, agar tidak mudah digoyahkan oleh kasus-kasus yang bernuansa konflik horisontal yang diakibatkan oleh perbedaan Sara.
Ketiga, sifat kewibawaan. Ketahanan nasional Indonesia sebagai hasil pandangan yang bersifat ‘manunggal’ tadi, mewujudkan kewibawaan nasional yang harus diperhitungkan oleh pihak lain sekaligus memiliki daya pencegah terhadap ATHG dan konflik bangsa Indonesia. Semakin tinggi tingkat kewibawaan, semakin besar tingkat pencegah tersebut. Itulah sebabnya, semakin bangsa Indonesia mampu mengelola konflik yang terjadi di kalangan masyarakat yang ada di nusantara ini, semakin bangsa Indonesia tercerai-berai (terancam disintegrasi) akibat konflik horisontal dan vertikal yang berkepanjangan, semakin menunjukkan pada pihak bangsa lain bahwa kita adalah bangsa yang tidak memiliki kewibawaan.
Keempat, sifat berubah menurut waktu. Ketahanan nasional Indonesia, tidaklah tetap adanya. Ia dapat meningkat atau menurun dan bergantung kepada situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Hal itu sesuai dengan pengertian bahwa segala sesuatu di dunia ini senantiasa berubah dan bahkan perubahan itu sendiri adalah berubah.
Kelima, sifat tidak membenarkan adu kekuasaan dan kekuatan. Konsepsi ketahanan nasional Indonesia dapat dipandang sebagai suatu alternatif dari konsepsi yang mengutamakan penggunaan adu kekuasaan dan adu kekuatan (power politics) yang masih dianut oleh negara-negara maju pada umumya sehingga bertumpu pada konsep kekuatan fisik maka sebaliknya ketahanan nasional Indonesia lebih menekankan pada kekuatan moral (moral force) yang ada pada bangsa Indonesia. Di samping itu, ketahanan nasional Indonesia, lebih mementingkan konsultasi dan saling menghargai pergaulan hidup manusia serta menjauhi antagonisme dan konfrontasi.
Semua sifat-sifat ketahanan nasional Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, senantiasa diarahkan dalam menjaga identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia dalam mengejar cita-cita nasionalnya. Itulah sebabnya, penggunaan pendekatan keamanan (security approach) dalam Tannas Indonesia, boleh jadi mengindikatorkan bahwa dia tidak menyukai adanya adu kekuatan. Jadi, pendekatan keamanan tidak harus diartikan sebagai penggunaan kekuatan untuk menyelesaikan konflik. Sebagai konsepsi bangsa, Tannas Indonesia bukan pemikiran yang bersifat ‘otoriter’, akan tetapi lebih menekankan pada pertimbangan demokratis yang selalu mengandalkan kekuatan moral sebagai potensi bangsa yang luhur.
Dewasa ini, penggunaan pendekatan keamanan (security approach) dalam memecahkan persoalan bangsa telah banyak yang mengkritisi. Umumnya, mereka cenderung menolak pendekatan ini. Persepsi yang muncul lebih banyak mempersoalkan, bahwa dengan pendekatan keamanan pasti akan direalisasi dengan sarana kekuatan fisik. Pemikiran itu, pada dasarnya tidak benar sama sekali. Aspek keamanan bukanlah semata-mata muncul dari konsepsi militerisme. Sebuah konsepsi bahwa untuk menciptakan keamanan harus dilakukan, misalnya dengan cara perang, paksaan, dominasi, dan bahkan pembunuhan. Konsepsi keamanan lebih erat hubungannya dengan kebutuhan dasar manusia. Karena itu, aktivitas keamanan lebih banyak bersandar pada panggilan jiwa dan upaya pemenuhan atau layanan kebutuhan akan rasa aman. Dalam konsepsi Tannas Indonesia, masyarakat tidak boleh ‘resah’, gara-gara merasa tidak aman dalam kehidupannya. Masyarakat juga tidak boleh chaos, lantaran keadaan yang diwarnai oleh konflik.
Dengan demikian, manajemen konflik dalam kerangka ketahanan nasional Indonesia harus ditangkap sebagai upaya saling memanfaatkan potensi yang melekat pada pihak-pihak yang berkonflik. Kiranya, ‘gaya kolaborasi’ dipandang lebih sesuai dengan keperluan ini. Dalam kaitan itu, manajemen dan penyelesaian konflik dalam kerangka Tannas Indonesia, harus dimaknai secara kritis dengan mengambil keunggulan masing-masing dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Hal ini menunjukkan, bahwa untuk menyelesaikan konflik dalam kerangka Tannas Indonesia, bukan menggunakan parameter ‘benar salah’, akan tetapi senantiasa lebih banyak dipetakan lewat pemahaman setting kultural, terutama kecanggihan dalam menangkap simbol-simbol budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Dengan cara itu, latar belakang konflik dapat diidentifikasi dengan objektif dan dimungkinkan adanya distribusi informasi secara terbuka. Konflik yang terjadi, dinyatakan secara terbuka dan dievaluasi dari berbagai sudut pandang budaya masing-masing pihak yang sedang berkonflik. Penyelesaian konflik yang hanya menggunakan pendekatan budaya sepihak, cenderung terperangkap pada pola pikir yang etnosentris, dan ini menjadikan pemecahan persoalan konflik yang mengarah pada ketidakadilan. Karena budaya itu bersifat subjektif, tidak dibenarkan penyelesaian konflik hanya dilihat dari satu sisi budaya, karena hal ini justru akan membuka ruang konflik baru. Dengan demikian, pendekatan ‘multikultural’ dirasakan lebih efektif dan lebih demokratis jika digunakan dalam memecahkan konflik horisontal dalam masyarakat yang hidup di seluruh nusantara.





BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik biasanya didefinisikan sebagai bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, paham, dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Selain itu, konflik juga dapat diartikan sebagai interaksi antara individu, kelompok atau organisasi dan golongan yang membuat tujuan atau arti yang berlawan, dan merasa bahwa orang atau kelompok lain dianggap sebagai pengganggu yang potensial. Sedangkan ketahanan nasional sering diartikan sebagai kondisi dinamik yang berisi tentang ‘keuletan’ dan ‘ketangguhan’ suatu bangsa dalam mengembangkan kemampuan untuk mengatasi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG), baik yang timbul dari dalam maupun dari luar, baik yang langsung maupun tidak langsung, yang membahayakan terhadap identitas, integritas dan kelangsungan hidup bangsa dalam mengejar cita-cita nasionalnya. Fenomena konflik pada dasarnya bersifat ‘laten’ dalam kehidupan masyarakat, bagaikan virus dan tidak bisa dibasmi sama sekali, namun jika tidak dikendalikan bisa menjadi epidemi. Oleh karena itu, konflik harus diartikan sebagai hal yang positif dan fungsional, yang harus dimanajemen dalam mencapai tujuan diri, sosial, bangsa dan negara. Dalam rangka ketahanan nasional Indonesia, manajemen konflik diharapkan mampu melahirkan ‘resultante’ keuletan, ketangguhan, dan daya tahan bangsa Indonesia sehingga memberikan kontribusi bagi upaya mempertahankan identitas, integritas, dan kelangsungan hidup dalam mencapai cita-cita nasionalnya.

B. SARAN
a.    Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai konflik dan cara mengatasinya.
b.    Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan penulisan ini di masa akan datang.



DAFTAR RUJUKAN

Hakim, S. A. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Konteks Indonesia. Malang: Madani.

Kurochan, R. 2013. Manajemen Konflik dan Ketahanan Nasional, (Online), (https://raedyth-gallery.wordpress.com/2013/03/18/makalah-manajeman-konflik-dan/ketahanan/nasional/), diakses tanggal 10 Februari 2015.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar